'Tak Diakui' Waze dan Google, Palestina Bikin Peta Sendiri

Kota Suci Yerusalem.
Sumber :
  • REUTERS/Darren Whiteside

VIVA – Pengakuan Yerusalem sebagai ibu kota Israel oleh Presiden Amerika Serikat Donald Trump pekan lalu memang penuh dengan kontroversi. Pengakuan itu dituding sepihak dan malah akan membuat situasi sosial politik bergolak.

Mobil Baru Laku Keras Jelang Lebaran, Ini 10 Merek Paling Diminati

Kontroversi soal seputar isu Yerusalem dan Israel juga terjadi pada dunia pemetaan daring. Hal itu dirasakan betul oleh warga Palestina, mereka merasa ada diskriminasi dalam penyediaan informasi pada aplikasi peta daring. 

Dikutip dari Wired, Senin 11 Desember 2017, aplikasi navigasi Waze tidak akan bisa memberikan panduan saat pengguna berkendara menuju Jericho, salah satu kota di Palestina yang berdekatan dengan Yerusalem. Hal senada juga terjadi di Google Maps

Jangan Coba-coba Jual Laptop dan HP Tua kalau Tak Mau Menyesal

Saat pengguna ingin menemukan informasi peta dari Yerusalem ke Jericho, Google Maps akan memberi informasi, ‘tidak bisa menemukan arah ke sana', sedangkan Waze akan merilis peringatan 'Perhatian, tujuan ini merupakan area berisiko tinggi, area yang dilarang oleh hukum Israel'. 

Kontroversi juga ditemukan saat pengguna menggunakan Waze dari Israel ke Tepi Barat, area yang merupakan wilayah Palestina. Saat menuju ke area tersebut, navigasi Waze akan mengalami keterbatasan. Jika pengguna terus menuju Tepi Barat, maka disarankan untuk mengubah pengaturan ke area yang disebut area 'berisiko tinggi'. Saat memasuki lokasi ini, cakupan GPS cenderung terbatas. 

Lindungi Diri Lewat Aplikasi

Sementara Google terang-terangan menghapus nama Palestina dalam Google Maps. Perusahaan digital raksasa itu punya dalih kenapa menghilangkan nama Palestina.

‘Diskriminasi’ data Waze dan Google Maps untuk area Palestina itu kemudian mendorong warga Palestina menginginkan peta yang betul-betul memberikan mereka panduan navigasi, sekaligus mengakui area Palestina.

Gayung bersambut. Diskriminasi yang dilakukan Waze dan Google Maps mendorong pemprogram dunia yang tergabung dalam Engineers Without Borders bekerja sama dengan insinyur Palestina mengembangkan peta untuk jalur Gaza dan area Palestina pada 2009. Mereka membuat peta secara marathon dalam waktu singkat atau dikenal ‘map-a-thon’.

Kolaborasi itu membuat peta wilayah Palestina dan data yang didapatkan akan disediakan di Open Street Maps, layanan pemetaan open source gratis. 

Programmer dan ahli geografi yang terlibat dalam proyek itu, Mikel Maron, mengakui tak mudah untuk memetakan wilayah Palestina yang kerap dilanda gejolak. 

"Ada banyak diskusi (pemrogram peta) dari seluruh dunia, namun kami tidak benar-benar tahu seperti apa tempat-tempat ini (Palestina). Infrastruktur kehidupan sehari-hari harus terlihat," jelas Maron.

Hasil gotong royong itu memang terbilang total. Dengan Open Street Maps, pemprogram memetakan nama jalan, lokasi toko, restoran, sekolah, taman, lapangan dan masjid di Tepi Barat dan Gaza. Sementara pemprogram Palestina, Nasser Abujabal membantu memetakan lokasi pertanian dan infrastruktur.    

Data yang tersedia di Open Street Maps, kemudian diolah dan ditarik pada aplikasi navigasi asal Belarusia, Maps.me. Aplikasi ini menarik data dari platform open source tersebut. Dengan demikian Maps.me lebih lengkap menyediakan data dibanding aplikasi peta populer lainnya. 

Maps.me menyediakan database jalan, sekolah, lapangan, pertokoan dan lainnya dengan sistem terbuka. Artinya setiap orang bisa menambahkan masukan pada aplikasi peta tersebut. Maps.me menyediakan titik-titik yang selama ini di luar dari ketersediaan aplikasi populer. 

Maps.me juga menyediakan akses peta dalam mode offline, hal yang sangat relevan dengan akses telekomunikasi di Palestina. Hadirnya pemetaan Maps.me yang memetakan Palestina dinilai merupakan solusi bagi orang Palestina untuk meningkatkan peta di Tepi Barat dan jalur Gaza. 

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya