Cara Kominfo Taklukkan Google Sampai Facebook

Beragam media sosial.
Sumber :
  • www.pixabay.com/LogoStudioHamburg

VIVA.co.id – Upaya Kementerian Komunikasi dan Informatika dalam menangani penyebaran konten negatif di media sosial, membuahkan hasil. Setidaknya, dalam paruh pertama 2017, pengaduan masyarakat terkait konten negatif terus meningkat.

Belum Ada Detail soal Pendaftaran Platform di PP 71/2019

Ada dua pendekatan yang selama ini dilakukan Kominfo dalam menangkal konten negatif, yaitu sosialisasi dan literasi yang melibatkan banyak kalangan. Hal kedua yang tak kalah penting, Kominfo bergerak cepat dengan mengundang langsung para penyedia layanan aplikasi media sosial dan penyedia konten ke Jakarta.

Dalam pertemuan bertahap tersebut, Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara menegaskan kepada mereka agar tidak membiarkan konten negatif tersiar dengan leluasa ke publik. Di satu sisi, pemerintah juga sudah menerapkan pemblokiran.

Pekerjaan Rumah Kominfo yang Terabaikan

Namun hal tersebut tidak cukup untuk menekan jumlah konten negatif. Tahun lalu saja, Kominfo telah memblokir 773 ribu situs. Dari jumlah tersebut, situs yang bermuatan pornografi paling banyak diblokir dibandingkan dengan 10 kategori lainnya.

Kesepuluh kategori itu antara lain pornografi, SARA, penipuan atau dagang ilegal, narkoba, perjudian, radikalisme, kekerasan, pelecehan anak, keamanan internet, dan Hak Kekayaan Intelektual (HKI).

Facebook Jangan Sekadar Buka Kantor

Mengantisipasi hal itu, Kominfo mendorong masyarakat agar semakin sadar dan memahami adanya konten negatif di media sosial. Publik dari pelbagai pihak dilibatkan, mulai dari pemerintah, tokoh masyarakat, asosiasi, pegiat internet, dan LSM.

Melalui pola-pola kampanye dan edukasi seperti Workshop Konten Informasi Digital oleh Ditjen Informasi dan Komunikasi Publik, Kampanye konten digital Indonesia Baik, Gerakan Anti Hoax dan Penguatan keakraban relawan TIK merupakan upaya memberikan pemahaman soal bagaimana memperlakukan konten negatif.

Ketika masyarakat sudah melek literasi, maka mereka menjadi sadar untuk tidak menyebarkan atau memviralkan konten informasi negatif. Kegiatan ini lebih mengedepankan kontrol sosial dan budaya. Pendekatan seperti ini terus didorong, karena memberikan dampak yang signifikan agar masyarakat lebih responsif dalam memperhatikan konten di internet atau sosial media.

Selain literasi, Kominfo juga mengendalikan peredaran konten negatif melalui sarana teknologi informasi. Caranya yaitu dengan merangkul masyarakat untuk melaporkan langsung konten negatif melalui surat elektronik di alamat aduankonten@mail.kominfo.go.id dan nomor WhatsApp 0811-922-4545.

Maraton panggil Pemain OTT

Kominfo telah beberapa kali memanggil para pemain Over The Top atau OTT ke kantor Kominfo. Semuanya yang dipanggil sepakat untuk menapis konten bermuatan negatif.

Oleh karena itu, Rudiantara dan Direktur Jenderal Aplikasi  dan Informatika (Aptika) Samuel Pangerapan, pada 1 Agustus hingga 5 Agustus 2017 secara maraton menemui sejumlah penyedia layanan media sosial.

Dalam pertemuan dengan operator aplikasi media sosial tersebut, Rudiantara meminta komitmen penyedia layanan media sosial meningkatkan Service Level Agreement (SLA) dalam menangani konten negatif seperti radikalisme, terorisme, pornografi, hoax, ujaran kebencian (hate speech), SARA dan lain-lain.

"Ini untuk pelayanan masyarakat. Sebab, masyarakat ingin mendapat kepastian dalam penanganan konten negatif di internet dan media sosial," ujar Rudiantara melalui keterangan tertulisnya, Kamis 10 Agustus 2017. 

Satu per satu, penyedia layanan media sosial ini ditagih komitmennya oleh Menkominfo untuk mengendalikan konten negatif yang bisa memicu konflik di suatu negara. Dalam pertemuan antara Kominfo dan CEO Telegram Pavel Durov di Jakarta pada 1 Agustus 2017, menghasilkan kesepakatan antara lain agar menghentikan propaganda terorisme yang dilakukan di saluran publik Telegram.

Selanjutnya, Telegram diminta menyediakan jalur khusus yang langsung tertuju pada Menkominfo dan tim dalam hal pemantauan konten terorisme. Lalu, Telegram diminta melibatkan anggota tim pemantauan yang mampu berbahasa Indonesia. Ini disebabkan agar Telegram dapat mempercepat penutupan saluran yang terindikasi membawa propaganda terorisme di bawah 24 jam.

Hari berikutnya, Kominfo bertemu dengan perwakilan Facebook Asia Pacific. Pertemuan ini menghasilkan keputusan agar Facebook menyediakan fasilitas geo-blocking

Facebook juga menyebut, mereka segera membentuk Tim Penanganan Konten di Indonesia untuk mempercepat proses respons atas permintaan publik, mengaplikasikan machine learning untuk membantu menurunkan jumlah spam, dan mengurangi postingan yang merujuk pada halaman web berkualitas rendah.

Hasil positif juga terjadi saat Kominfo bertemu wakil Google Asia Pacific, Ann Lavin, pada 4 Agustus 2017. Google bersedia melatih tim trusted flagger, sehingga publik dapat lebih mengerti tentang ketentuan-ketentuan yang ada di Google.

Kominfo menekankan pentingnya pelibatan masyarakat sipil dalam penilaian konten sesuai kearifan lokal. Google juga terus mengkaji terhadap ‘flag-flag’ yang dibuat secara efisien.

Adapun pertemuan dengan Twitter di hari yang sama dengan pertemuan Google, Kominfo meminta agar mereka mempercepat permintaan penanganan konten negatif, radikalisme dan terorisme, serta terkait narkoba dan pornografi anak. Pada posisi ini, Kominfo bertindak sebagai Focal Point Indonesia dalam penanganan konten negatif yang beredar di Twitter.

Kominfo menilai, pengendalian melalui sarana teknologi informasi menghasilkan tingkat respons penyedia layanan media sosial. Bukti ini terlihat pada permohonan pemblokiran konten negatif yang meningkat dalam setahun terakhir, yaitu tingkat respons penyedia layanan media sosial melampaui 55 persen sejak 2016. (mus)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya