Penjelasan Ilmiah Soal Bos yang Kerap Emosi

Peresmian Sinergi Terapan Neurosains Indonesia (Sintesa)
Sumber :
  • Viva.co.id/Amal Nur Ngazis

VIVA.co.id – Setiap pemimpin punya karakter yang beragaml. Ada pemimpin yang kalem, ada yang bergaya galak. Ternyata, pendekatan neurosains bisa dipakai untuk menganalisis bagaimana gaya pemimin yang gemar marah-marah.

4 Alasan Berselingkuh Menurut Neurosains

Neurosains menjelaskan perilaku manusia dari sudut pandang aktivitas yang terjadi di otak. Oleh karena sistem neuron atau sel saraf adalah unit paling kecil dari sistem saraf yang menerima dan membawa sinyal melalui kerja listrik dan kimiawi. 

Sistem listrik dan kimiawi yang terjadi di tingkat neuron inilah yang memiliki hubungan yang sangat erat antara otak dengan pikiran dan perilaku manusia.

Pakar: Memimpin dengan Otak, Pekerjaan Hasilnya Akurat

Ketua Umum Asosiasi Sinergi Terapan Neurosains Indonesia atau Sintesa, Lyra Puspa, mengungkapkan pemimpin yang gemar marah-marah bisa berdampak buruk bagi bawahannya. Daya kreativitas mereka bisa padam karena perilaku direktif pemimpin tersebut. 

Relasi demikian, kata Lyra sudah dikelaskan dalam penelitian ilmuwan Massachusetts Institute of Technology atau MIT Amerika Serikat. 

Pakai Nuerosains, Iklan Ini Sukses Melantak Emosi Konsumen

"Dari riset MIT kalau seorang leader dalam kondisi marah, enggak usah marah omongan saja, itu kalau masuk ruangan, bawahan langsung otaknya stres, langsung drop, dan enggak bisa fokus (bekerja). Apalagi kalau marahnya ngomong," ujar dia kepada VIVA.co.id

Dia mengatakan, tingkat stres bawahan makin meningkat jika pemimpin marah dengan melontarkan ucapan. Dalam prinsip neurosains, saat pemimpin stres maka itu akan meluas ke bawah dan itu tak akan terjadi sebaliknya. 

"Jadi kalau pemimpin marahnya pakai ngomong, sampai nyalahin, itu akan makin hack," ujar perempuan yang mendalami neurosains di Massachusetts Institute of Technology, Amerika Serikat itu. 

Lyra menjelaskan, saat pemimpin dalam mood yang jelek dan berantakan maka itu emosi sang pemimpin akan terpindah ke bawahan. Penularan itu, kata dia, bisa melalui ekspresi wajah dan suara.

"Itu tertransfer lewat neural neutron, itu di antara otak. Kalau marah kan enggak mungkin ngomong kalem ya. Nah suara (marah) itu berpengaruh pada perasaan. Itu kemudian menular," jelasnya. 

Prinsip Neurosains

Perempuan berjilbab ini melanjutkan pada dasarnya, secara anatomi, struktur otak terdiri dari berbagai fungsi, di antaranya yaitu otak cortex yang berfungsi untuk berpikir dan menganalisis, sedangkan ada otak limbik yang terkait dengan perasaaan. 

"Saat leader marah, itu masuk ke dalam otak perasaan. Bawahan itu nantinya otak cortex dan limbiknya terkunci. Jadi nge-hang, atau ter-hjack, Maka itu menjadi kaku beku, padahal otak manusia itu berpikir kreatif dan akhirnya untuk analitik tidak bisa," ujarnya. 

Mengingat fungsi otak itu, Lyra menyarankan agar pemimpin harus memahami prinsip otak tersebut. Agar otak cortex berjalan optimal maka pemimpin sebaiknya mengedepankan rileks untuk memicu dan mendorong bawahan berpikir kreatif. 

"Bayangkan di Indonesia, berapa banyak leader yang menggunakan gaya direktif lalu marah-marah. Dia pikir cuma ada satu cara (memimpin dengan marah-marah) saja," kata dia. 

Lyra menjelaskan, jika pemimpin paham dengan edukasi berprinsip neurosains, maka sosok pemimpin akan mampu mengelola emosinya sendiri sehingga efektif dalam memimpin orang. (ren)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya