Pengamat Beberkan Strategi Berbagi Jaringan yang Ideal

Perawatan BTS 4G.
Sumber :
  • VIVA.co.id/Ikhwan Yanuar

VIVA.co.id – Pemerintah menilai jika penciptaan iklim usaha yang sehat dan efisiensi di industri telekomunikasi bisa dilakukan dengan berbagi jaringan. Namun, tidak demikian menurut peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Mohammad Reza Hafiz.

Jangan Ada Kanibalisme di Industri Telekomunikasi

Dalam keterangannya saat ditemui di Jakarta, Jumat, 20 Januari 2017, Reza menjabarkan jika idealnya, berbagi jaringan dilakukan dalam situasi dan kondisi khusus. Misalnya di daerah terpencil yang sulit dijangkau infrastruktur, yang bisa membantu pemerintah memperkecil ketimpangan penetrasi seluler di negara ini.

"Filosofi sesungguhnya dari berbagi jaringan adalah sharing cost di daerah yang belum terjangkau sarana telekomunikasi seperti di daerah terluar dan terujung wilayah Indonesia. Di beberapa negara, penerapan berbagi jaringan telekomunikasi di negara-negara tersebut hanya dilakukan di wilayah rural dan remote area," ujar Reza.

Pemerintah Diminta Percepat Revisi PP 52 dan 53

Beberapa wilayah yang dimaksud, seperti Swedia, Denmark, Finlandia, Saudi Arabia, Brasil, Chili, dan Malaysia. Wilayah yang masuk pantauan berbagi jaringan operator di negara itu adalah yang belum terjangkau sarana dan prasarana telekomunikasi, karena letak geografis daerah tersebut.

Bisa juga daerah pedalaman, terpencil, dan terluar yang sulit dijangkau, tidak layak secara bisnis, serta memerlukan biaya yang besar, sehingga pencapaian efisiensi berkeadilan dari sisi belanja modal (capex) dan belanja operasional (opex).

Menuju Teknologi 5G, Aturan Telekomunikasi Harus Diubah

Terlebih, kata Reza, ada potensi persaingan usaha tidak sehat jika pemerintah memaksakan skema berbagi jaringan yang umum ini. Hal ini dikarenakan operator bisa mengendalikan pasar, baik melalui harga maupun pangsa pasar. Kemungkinan ini didasarkan pada struktur pasar telekomunikasi Indonesia yang lebih condong kepada oligopoli.

"Jika metode ini diberlakukan, operator cenderung memilih untuk sewa infrastruktur yang sudah ada, dibanding membangun di wilayah baru. Dampak yang terjadi adalah perluasan coverage dan kualitas pelayanan menjadi tidak optimal," katanya.

Sebelumnya, Ketua KPPU, Syarkawi Rauf mencium adanya kegaduhan dalam industri telekomunikasi Indonesia yang disebabkan regulasinya yang selalu terlambat dalam melakukan penyesuaian. Ini juga bisa berakibat memunculkan persaingan usaha tidak sehat. (art)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya