Penjelasan Beda Barang Palsu dan Bajakan

Barang bukti yang disita polisi dari pabrik obat dan jamu palsu di Cakung.
Sumber :
  • VIVA.co.id/Bayu Nugraha

VIVA.co.id – Kadang pengguna menyamakan antara barang palsu dan bajakan. Padahal, barang palsu dan barang bajakan, merupakan dua hal yang berbeda, pengguna kadang tidak mengerti hal ini.

Ilmuwan Ini Berhasil Ciptakan Koper Bertenaga Al, Permudah Tunanetra Navigasi Lingkungan

Sekretaris Jenderal Masyarakat Indonesia Anti Pemalsuan (MIAP), Justisiari P. Kusumah mengatakan, palsu dan bajakan itu tidak sama artinya.

"Barang palsu itu tidak sesuai dengan perizinan, sedangkan barang bajakan adalah penggandaan yang tidak sesuai perizinan. Biasanya bajakan ini, sering berkaitan dengan video, musik, sampai software," ucap Justisiari dalam acara kesepakatan kerja sama antara Microsoft Indonesia dengan lima e-commerce lokal di Jakarta, Selasa 29 November 2016.

Cek Fakta: Pengecekan Barang KW atau Palsu di Bandara Paris

MIAP yang mengurusi dari persoalan barang palsu mengatakan, keberadaan barang palsu di Indonesia cukup meresahkan, dengan kerugiannya yang cukup signifikan. 

Berdasarkan hasil survei yang dilakukan MIAP sejak 2010 yang dirilis pada 2014, dampak barang palsu terhadap bruto dan produk domestik bruto diperkirakan dengan atau tanpa memperhatikan efek multiplier, ekonomi Indonesia kehilangan Rp65,1 triliun bruto dan Rp34,1 triliun untuk produk domestik bruto.

Bawa Barang KW di Prancis Bisa Kena Denda hingga Hukuman Penjara

Itu sama artinya, pemerintah kehilangan pendapatan pajak tidak langsung sebesar Rp424 miliar per tahunnya. Justisiari mengatakan, itu angka yang sangat besar akibat pemalsuan barang yang diambil dari tujuh komoditas.

Tujuh komoditas yang sering dipalsukan di antaranya yang tinggi adalah tinta printer dengan persentase 49,4 persen. Lalu, diikuti pakaian (38,9 persen), kulit (37,2 persen), software (33,5 persen), kosmetik (12,6 persen), makanan (8,5 persen), dan obat-obatan (3,8 persen).

“Kenapa tinta printer yang paling tinggi? Karena, alasanya soal kebutuhan dan efeknya kecil. Makanya obat paling rendah, karena konsumen tahu kalau mengonsumsinya bisa sakit, atau mati,” kata Justisiari. (asp)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya