Uji Publik PP 52 dan 53 Singkat, Disarankan Tambahan Waktu

Anggota Ombudsman RI, Ahmad Alamsyah Saragih.
Sumber :
  • www.ombudsman.go.id

VIVA.co.id – Kementerian Komunikasi dan Informatika mengadakan uji publik revisi Peraturan Pemerintah Nomor 52 tentang Telekomunikasi dan PP 53 tentang Spektrum, Frekuensi Radio dan Orbit Satelit, dalam waktu singkat, hanya satu pekan sejak 14 November 2016. Lembaga Ombudsman Indonesia sanksi waktu tersebut cukup untuk memenuhi mekanisme transparansi yang wajib dilakukan dalam sebuah perumusan perundang-undangan.

Pakai APBD Rp 12 Miliar, Penajam Paser Utara Bangun Interkoneksi Perpipaan Air Bersih

Komisioner Ombudsman, Alamsyah Saragih, menuding, proses revisi kedua PP tersebut tidak sejalan dengan UU No.12 tahun 2011 tentang Tata Cara Perumusan Perundang-undangan. Dalam setiap pengambilan kebijakan, dalam UU tersebut, diwajibkan untuk melibatkan masyarakat dalam memberi masukan, baik lisan dan tulisan.

"Uji publik selama enam hari sangat singkat karena semua masukan itu harus dipaparkan. Proses uji publik ini belum memenuhi tahap transparansi publikasi, karena tidak ada jaminan masukan publik dikompilasi dan publikasi. Oleh karena itu sebaiknya jangka waktu untuk uji publik ditambah, beri garansi kalau masukan akan dipublikasi," ujar Alamsyah dalam dalam keterangannya, Jumat 18 November 2016.

Menteri ESDM: Interkoneksi Listrik Sumatera-Malaysia Ditargetkan 2030

Alamsyah menilai, Kemenkominfo terkesan buru-buru dan memaksakan revisi PP itu untuk diresmikan. Padahal, dari segi materi dianggap bertentangan dengan UU No.36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi. Oleh karena itu, Alamsyah menyarankan, seharusnya sebelum menerbitkan PP baru, Kemenkominfo bisa merevisi UU tersebut terlebih dulu.

"Undang-Undang kita sudah kedaluawarsa. Untuk RPP, perbaiki Undang-undangnya dahulu. Juga harus ada aturan mengenai mekanisme konsultasi publik. Dengan situasi seperti ini (waktu hanya enam hari) harus bagaimana dengan uji publik ini? Harusnya perbaiki dulu UU-nya. Revisi PP lalu konsultasi publik. Alangkah baiknya revisi PP ini ditunda dulu." ujar dia. 

Jangan Ada Kanibalisme di Industri Telekomunikasi

Sedangkan tim ahli desk cyberspace Kemenkopolhukam, Marsma TNI Prakoso, mengatakan, Kemenkominfo tidak melibatkan Kemenkopolhukam dalam revisi ini. Padahal posisi Kemenkopolhukam dalam pemerintahan, masuk koordinasi Polhukam.

"Status telekomunikasi adalah objek vital atau kritikal infrastruktur. Kebijakan harusnya bersifat lintas sektoral. Untuk dituangkan dalam RPP. Kominfo harusnya bisa mengkordinir dengan Menkopolhukam. Kementerian harusnya jadi wasit, tidak boleh berpihak pada salah satu operator. Dalam PP 52 dan 53 ini kata 'dapat digunakan dan/atau disewakan' banyak sekali digunakan," kata Prakoso.

Prakoso mengatakan, hal krusial seharusnya tidak boleh diatur dalam Peraturan Menteri. Sebab, akan ada potensi penyalahgunaan kekuasaan menteri.

“Jangan taruh keputusan strategis di Keputusan Menteri, bisa berpotensi abuse of power," katanya.

Hal senada juga disampaikan oleh pakar hukum tata negara, Margarito Kamis. Menurutnya, dalam UU 1945, secara teknis perumusan harus melibatkan kementerian lain, seperti Kemenkopolhukam, Kementerian Hukum dan HAM, serta Kementerian Pertahanan.

"PP Nomor 52 dan 53 Tahun 2000 harus melihat segi tidak mengganggu keamanan negara. Isinya tidak boleh melampaui atau melabrak undang-undang, dan normanya tidak boleh bertentangan dengan undang-undang. Dari segi prosedur, juga harus melibatkan partisipasi dan rasional masyarakat, karena telekomunikasi sesuatu yang penting bagi masyarakat," kata Margarito.

Uji publik revisi PP 52 dan PP 53 tahun 2000 dilakukan selama sepekan, sejak 14 November sampai 21 November 2016.

Merusak Industri Telekomunikasi

Uji publik yang dilakukan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) terkait dengan revisi PP 52/53 tahun 2000, sudah mendekati akhir. Tepat pada 20 November 2016 mendatang Kominfo menutup uji publik terhadap revisi PP 52/53 tahun 2000.

Waktu uji publik yang diberikan Kominfo terkait revisi PP 52/53 tahun 2000 dinilai Ridwan Effendi Sekjen Pusat Kajian Kebijakan dan Regulasi Telekomunikasi ITB, terlalu singkat dan tidak ideal.

Jika uji publik peraturan menteri yang tidak memiliki dampak yang luas, mungkin waktu 6 hari dinilai Ridwan cukup. Namun untuk rencana revisi peraturan pemerintah yang menyedot perhatian publik, waktu 6 hari yang ditetapkan pemerintah dinilai Ridwan tidaklah cukup.

“Jika niat Kominfo tulus ingin mendapatkan masukan dari masyarakat, idealnya uji publik terhadap revisi PP 52/53 tahun 2000  dapat dilakukan dalam kurun waktu 30 hari kerja,” papar Ridwan di Jakarta.

Dari revisi PP 52/53 yang telah dibuka oleh Kominfo, Ridwan melihat ada pasal yang memberikan manfaat bagi industri telekomunikasi dan masyarakat. Salah satu kebaikkan yang tertuang dalam revisi PP 52/53 adalah kewajiban bagi operator untuk mendahulukan kepentingan umum dan masyarakat ketika ada bahaya atau terjadi bencana alam.

Meski melihat ada yang bermanfaatnya, namun tidak sedikit pasal di revisi PP 52/53 yang berpotensi akan merusak industri telekomunikasi. Bahkan di dalam revisi 53, Kominfo berpotensi melanggar UUD dan UU Telekomunikasi.

Pasal yang dinilai Ridwan merugikan industri telekomunikasi diantaranya, diwajibkannya berbagi jaringan atau network sharing antarpenyelenggara jaringan telekomunikasi Dengan diberlakukannya kewajiban berbagi jaringan tersebut, justru berpotensi merugikan industri telekomunikasi yang saat ini telah berjalan dengan baik.

Ridwan menjelaskan jika network sharing diwajibkan bagi operator telekomunikasi yang telah membangun jaringan, kapasitas yang mereka miliki dipastikan akan berkurang karena dimanfaatkan oleh operator lain.

Padahal ketika sewa menyewa jaringan, ada perjanjian kualitas layanan yang harus dijaga. Sehingga network sharing ini akan berpotensi buruk kepada operator yang memiliki jaringan atau menyewakan jaringan.

Selain mencampuri urusan bisnis, network sharing yang digagas pemerintah berpotensi menciptakan persaingan usaha tidak sehat seperti kartel.

Selain PP 52 yang banyak mudaratnya, Ridwan menilai revisi PP 53 juga berpotensi menimbulkan permasalahan. Pasal yang menjadi perhatian Ridwan adalah diperbolehkannya pengalihan frekuensi antarpenyelenggara jaringan telekomunikasi.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya