Apnatel: Wajar Biaya Interkoneksi Asimetris

Teknisi memeriksa perangkat BTS XL
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Vitalis Yogi Trisna

VIVA.co.id – Banyak pihak yang menganggap rencana pemerintah merevisi Peraturan Pemerintah (PP) nomor 52 dan 53 akan merugikan negara ini. Tidak hanya menghilangkan potensi pendapatan dari perusahaan Badan Usaha Milik Negara telekomunikasi, tetapi juga imbasnya ke masyarakat.

Pakai APBD Rp 12 Miliar, Penajam Paser Utara Bangun Interkoneksi Perpipaan Air Bersih

Sekadar informasi, PP 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi dan PP 53 Tahun 2000 tentang Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit, keduanya menyangkut soal Network Sharing (berbagi jaringan) dan Interkoneksi. 

Menurut Ketua Dewan Pembina Asosiasi Perusahaan Nasional Telekomunikasi (Apnatel), Rahardjo Tjakraningrat, jika revisi kedua PP itu terjadi, biaya interkoneksi menjadi tidak ideal, dan network sharing akan menjadi kewajiban semua operator.

Menteri ESDM: Interkoneksi Listrik Sumatera-Malaysia Ditargetkan 2030

"Yang rugi tidak hanya Telkom, tetapi juga rakyat Indonesia. Telkom itu kan BUMN, keuntungan yang didapat diserahkan sebagian ke negara sebagai salah satu pemegang saham. Revisi itu sudah pasti ada potensi pengurangan keuntungan Telkom. Ini, artinya negara juga turun pendapatannya, kalau negara berkurang penghasilan, yang rugi di ujung siapa? Ya, rakyat Indonesia ini," ujarnya dalam keterangannya, Senin 31 Oktober 2016.

Dia mengatakan, merupakan hal yang wajar, jika penetapan biaya interkoneksi menggunakan pola asimetris. Hal ini, katanya, untuk menghargai jerih payah masing-masing operator membangun jaringan.

Jangan Ada Kanibalisme di Industri Telekomunikasi

“Ada yang bangun jaringan hingga pelosok, masa dikasih cost recovery sama dengan yang hanya bangun di perkotaan. Ini namanya tak adil," katanya.

Sedangkan dalam konsep berbagi jaringan yang dipaksakan, atau wajib bagi semua operator, seperti yang dirancang dalam revisi kedua PP tersebut, kata dia, hasil akhirnya juga akan merugikan Indonesia.

"Jika dilihat rekomendasi ITU (International Telecommunication Union) itu dibilang open access berlaku bagi infrastruktur yang dibangun pemerintah (publik). Kalau menjadi wajib dibuka, ini mau berbagi, atau numpang jaringan,” jelasnya.

Dia mengingatkan, jika network sharing menjadi wajib, bisa melanggar persaingan usaha karena ada pemain yang dirugikan, sedangkan pemain lain menikmati keuntungan. 

“Saya sarankan pemerintah, jika mau ubah regulasi itu yang bikin industri makin kompetitif dan sehat. Kita ini kan Pancasila, jelas itu Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Jadi, pahami dasar negara itu dalam membuat regulasi,” katanya. (asp)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya