Interkoneksi Turun Untungkan Operator Asing, XL: Lebay Itu!

BTS XL Axiata di Yogyakarta.
Sumber :
  • VIVA.co.id/Mitra Angelia

VIVA.co.id – Isu kebijakan penurunan biaya interkoneksi yang dianggap hanya menguntungkan pihak asing dikatakan sebagai hal yang tidak relevan. Penurunan interkoneksi tak ada hubungannya dengan keuntungan operator asing.

Kominfo Didesak Tuntaskan Seleksi Verifikator Interkoneksi

Bantahan ini dijelaskan Presiden Direktur XL Axiata, Dian Siswari, saat diskusi terbatas dengan para jurnalis di kantornya, Rabu, 31 Agustus 2016. Dia bahkan mengatakan, bisa menjabarkan beberapa data terkait dengan tudingan tersebut.

"Itu (Interkoneksi) tak relevan dikaitkan dengan keuntungan bagi operator asing. Tidak ada operator seluler di Indonesia yang tak menikmati aliran dana investor asing. Bahkan Telkomsel, yang diklaim paling Indonesia, sekitar 35 persen sahamnya dikuasai oleh Singapore Telecommunication (SingTel). Hitung saja berapa dividen dari Telkomsel yang dibawa ke Singapura. Jadi itu (isu interkoneksi untungkan asing) tidak tepat. Lebay itu," papar Dian.

Pengamat Beberkan Metode Penghitungan Tarif Interkoneksi

Dia pun menghitung, jika laba Telkomsel pada 2015 sebesar Rp22,4 triliun, diperkirakan negara hanya mendapat Rp7,4 triliun. Sementara SingTel, sebagai penguasa 35 persen saham, mendapatkan sebesar Rp7,8 triliun. Sedangkan Telkom Grup, selama 2015 mendapatkan omset sebesar Rp97 triliun. Sebagai net payer di interkoneksi mengalami minus Rp 0,075 triliun.

"Logikanya jika biaya interkoneksi turun, beban yang ditanggung operator pelat merah ini tentu juga akan turun," kata Dian.

BRTI Masih Cari Verifikator Independen Biaya Interkoneksi

Selain itu, lanjut Dian, kebijakan revisi biaya interkoneksi adalah kewenangan dari Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) yang harus menjaga semua kepentingan dari pemangku kepentingan. Kominfo dalam hal ini harus memuaskan tiga pihak, yakni pemerintah, masyarakat, dan pelaku usaha.

"Bagi kami turun 26 persen itu juga tak memuaskan, tetapi kita butuh kepastian untuk investasi ke depannya. Kita terima itu sebagai sebuah kebijakan," jelasnya.

Argumen terkait keuntungan perusahaan asing dari interkoneksi ini juga dikatakan mantan anggota BRTI periode 2009-2015, Nonot Harsono. Dia menyebut jika investasi Singapura, Qatar, dan Malaysia di industri telekomunikasi Indonesia terjadi atas undangan pemerintah negara ini. 

"Yang utama harus disusun adalah skenario kerjasama global yang saling menghormati dan saling memberi keuntungan. Maka tentu tidak elok jika isu asing versus nasionalisme diramaikan ketika negeri ini masih membutuhkan investor luar negeri,” kata Nonot.

Jika ditelusuri lebih dalam, kata dia, sumbangan dividen PT Telkom Tbk ke kas negara lebih kecil dibanding dividen yang diterima oleh Singtel (yang Rp7 triliun) dari Telkomsel. Sementara itu, Indosat Ooredoo, XL, Three, belum bisa mengirim keuntungan ke negara pemilik (Qatar, Malaysia, dan lainnya) karena investasi besar mereka di Indonesia belum untung.

Terkait kekhawatiran terjadinya penurunan pendapatan jika penurunan tarif interkoneksi diberlakukan, menurut dia, itu pasti. Tetapi hal itu memang harus terjadi dalam rangka mendorong terjadinya persaingan sehat di luar Jawa, agar masyarakat bisa mempunyai pilihan operator mana yang terbaik melayani mereka. Jika hanya satu operator yang sangat dominan, maka masyarakat tidak bisa memilih. Bahkan, kata dia, masyarakat berhak menuntut pengurangan biaya interkoneksi dan meminta pula penurunan tarif off-net kepada semua operator, jika ternyata tarif yg diterapkan berlipat lebih tinggi daripada hasil perhitungan pemerintah atau regulator.

Dipaparkan Nonot, berdasarkan laporan keuangan konsolidasi Telkom dan Telkomsel 2015, dividen yang dibagikan Telkomsel pada 2015 mencapai Rp21,53 triliun. Dari jumlah tersebut, dividen Telkomsel diberikan kepada induk usaha yakni PT Telkom Tbk yang memegang 65 persen saham sebesar Rp13,99 triliun, sedangkan Singtel memperoleh dividen Rp7,53 triliun sesuai dengan 35 persen kepemilikan sahamnya di Telkomsel.

Sementara Telkom membagikan dividen ke pemegang saham jauh lebih rendah dari yang diberikan Telkomsel kepada Telkom. Total dividen Telkom pada 2015 hanya mencapai Rp8,78 triliun. Pemerintah yang menguasai 52,55 persen saham Telkom memperoleh dividen sebesar Rp4,61 triliun dari BUMN telekomunikasi tersebut, sedangkan pemegang saham lain mendapat dividen Rp4,16 triliun dengan porsi saham 47,45 persen.

“Dividen dari Telkomsel masuk ke Telkom sesuai proporsi saham. Jika langsung ke pemerintah maka seharusnya bagian untuk pemerintah sekitar Rp9,09 triliun sesuai porsi saham pemerintah di Telkom,” kata dia.

Tetap Jalankan Interkoneksi Sesuai SE

Oleh karena itu, Dian menegaskan pihaknya tidak akan menunggu peraturan menteri (PM) untuk menjalankan revisi biaya interkoneksi. Dia menganggap surat edaran sudah cukup untuk mengimplementasikan biaya interkoneksi baru tanpa harus menunggu PM

"Tak perlu menunggu PM untuk menjalankan biaya interkoneksi. Selama ini memang ditetapkan melalui surat edaran. PM itu hanya memuat rule of game (aturan main). SE sudah menjadi pegangan kami dan biaya baru interkoneksi akan berlaku 1 September mendatang," tegas Dian.

Hal ini dianggap Dian tidak perlu diperdebatkan lagi karena pihaknya telah memberikan Daftar Penawaran Interkoneksi (DPI) sejak 15 Agustus lalu yang dijadikan acuan pemerintah untuk menentukan besaran.

"Negosiasi interkoneksi sebenarnya adalah domain antaroperator yang acuannya adalah biaya yang ditetapkan pemerintah. Kalau ada dispute di negosiasi, itu yang dibawa ke ranah hukum," katanya.

Ditambahkannya, sejak 2013 biaya interkoneksi tak pernah turun besar. Pada 2010 dari Rp 260 menjadi Rp 251. Setelah itu pada akhir 2013 dari Rp 251 menjadi Rp 250. Padahal, secara teknologi dan pengembangan jaringan harusnya lebih murah. Bahkan secara logika, operator besar harusnya lebih efisien karena dari jaringan yang besar menghasilkan trafik tinggi. 

"Kita saja recovery cost hanya Rp65," kata dia. (ren)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya