Tarif Interkoneksi Turun, Tak Ada Dampak Signifikan

Sim Card.
Sumber :
  • REUTERS

VIVA.co.id – Kementerian Komunikasi dan Informatika mengklaim jika penurunan biaya interkoneksi dan pola simetria yang diterapkan akan berdampak signifikan pada pertumbuhan industri telekomunikasi di Indonesia. Sayangnya, tidak demikian yang diyakini pengamat telekomunikasi dan ekonom di tanah air.

Menkominfo Kasih Lampu Hijau Operator Telekomunikasi untuk Merger

Menurut ekonom yang juga analis saham PT Bahana Securities, Leonardo Henry Gavaza, penurunan biaya interkoneksi ini disinyalir akan memanjakan operator yang malas membangun infrastruktur. Ini artinya, dampaknya tidak akan terlalu signifikan pada pertumbuhan industri telekomunikasi di Indonesia, malah akan memperburuk.

"Operator yang malas membangun makin malas. Akhirnya, segelintir operator akan diuntungkan dari penurunan tarif dan pola simetris ini," ujar Leonardo, dalam keterangan resminya, Kamis, 11 Agustus 2016.

Hati-hati, SIM Swapping is Back

Sebelumnya, pengamat ekonomi dan bisnis dari Universitas Gajah Mada (UGM), Dr. Fahmy Radhi, MBA, memprediksi jika aturan ini benar-benar jadi diterapkan maka akan memunculkan persaingan tidak sehat dan menghambat pertumbuhan pembangunan jaringan telekomunikasi.

Dijelaskan Fahmy, dengan biaya interkoneksi ditetapkan pemerintah di bawah harga pokok penjualan (HPP), operator pemilik jaringan akan dirugikan. Sebaliknya, operator pengguna jaringan akan diuntungkan. Pasalnya, dalam menetapkan HPP, pemilik jaringan biasanya menggunakan basis biaya (cost base ) yang memperhitungan pengeluaran investasi (Capital Expenditure) dan biaya operasional (Operational expenditure). Sedangkan, operator pengguna jaringan hanya mengeluarkan biaya interkoneksi yang ditetapkan pemerintah.

7 Operator Telekomunikasi Bikin Aliansi, Ada Telkomsel

Lain lagi pendapat Ketua Program Studi Telekomunikasi di Institut Teknologi Bandung, Dr.Ir. Ian Joseph Matheus Edward, MT., yang mengatakan aturan penurunan dan pola yang diberlakukan Kemenkominfo tidak masuk akal. Selain prosedurnya yang tidak sesuai aturan, penetapan biaya itu dianggap tidak memiliki landasan yang sesuai.

Dalam PP 52 tahun 2000 pasal 23 ditulis interkoneksi harus berdasarkan perhitungan yang transparan disepakati bersama dan adil. Ini artinya harus menggunakan perhitungan berbasis biaya (cost base) dan disepakati bersama oleh seluruh operator. Tanpa terkecuali.

"Jadi jika ada salah satu operator yang tidak setuju, maka aturan tersebut harus batal demi hukum," papar Ian.

Ditambahkannya, selain metode perhitungan cost base, dalam penetapan biaya interkoneksi, pemerintah harus memasukkan biaya pembangunan (CAPEX), unsur resiko, quality of service dan biaya operasional. Pembangunan jaringan telekomunikasi di daerah terpencil memakan biaya yang tidak sedikit sehingga, menurut Ian, sangat tidak fair jika pemerintah menetapkan biaya interkoneksi dengan pola simetris.

"Memang secara teoritis, penetapan tarif interkoneksi secara pola simestris akan mencapai efisiensi di pasar. Namun dengan satu syarat, yaitu coverage jaringan sudah menjangkau seluruh wilayah di suatu negara dan mencapai keseimbangan jaringan antaroperator. Jika belum terpenuhi, kebijakan penetapan tarif interkoneksi secara simetris tidak hanya menghambat pembangunan jaringan, tetapi juga menciptakan persaingan tidak sehat," katanya.

Diketahui, hampir semua negara-negara Eropa sudah menetapkan tarif interkoneksi secara simetris lantaran tingkat coverage jaringan sudah mencapai hampir 100 persen. Swiss dan Kroasia sudah mencapai 100 persen, Austria, Yunani, Portugal dan Perancis 99 persen, Italia dan Spanyol 98 persen, Inggris 95 persen, Thailand sudah mencapai 97 persen dan Malaysia 95 persen.

Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) bersikukuh ingin menurunkan biaya  interkoneksi dari Rp 250 per menit menjadi Rp 204 per menit dengan pola simetris. Mereka berdalil penurunan dengan pola simetris akan membawa manfaat bagi industri telekomunikasi di Indonesia.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya