Pengamat: OTT Asing Mutlak Berbadan Usaha Tetap

Ilustrasi membuat video.
Sumber :
  • IT Portal

VIVA.co.id – Rancangan peraturan menteri (RPM) terkait perusahaan layanan over the top (OTT) sudah dikeluarkan. Dalam proses uji publik, masyarakat menegaskan OTT agar mutlak berbadan usaha tetap.

Indonesia Merugi gara-gara OTT Asing Bikin Kisruh

Salah satunya disampaikan oleh komunitas praktisi usaha telematika yang tergabung dalam Indotelko Forum. Menurut komunitas tersebut, meskipun OTT diperbolehkan bekerja sama dengan operator dalam menjalankan bisnisnya di Indonesia, bukan berarti mereka bebas dari kewajiban berbadan usaha tetap.

"Kami tidak menyetujui jika OTT yang sudah bekerja sama dengan operator dibebaskan dari kewajiban BUT. BUT adalah harga mati jika Indonesia tidak ingin kehilangan potensi pajak," ujar founder Indotelko Forum, Doni Ismanto, kepada Viva.co.id, Senin, 2 Mei 2016.

Lakukan Ini agar Indonesia Tak Jadi Korban Perusahaan Digital Asing

Ini termasuk dengan pemain video streaming yang saat ini marak bermunculan dan memilih bekerja sama dengan operator. Misalnya seperti iFlix yang bekerja sama dengan Telkom dan Indosat, atau Hooq yang bekerja sama dengan Telkomsel.

Pihaknya juga mengaku setuju adanya kewajiban pelaporan kinerja operasional OTT, namun seharusnya tidak sebatas trafik dan jumlah pelanggan. OTT wajib untuk melaporkan kinerja keuangan dan aksi korporasi ke regulator, termasuk merger dan akuisisi.

Antisipasi Pembangkangan OTT Asing

"Harusnya diklasifikasikan juga OTT berdasarkan revenue dan pelanggan sehingga bisa ditentukan mana OTT yang tak bisa diberi kelonggaran. OTT seperti Facebook, WhatsApp atau yang terdaftar di bursa, termasuk e-Commerce, wajib memenuhi aturan RPM ini. Kewajiban lainnya seperti isu sensoring, penempatan data center, atau penggunaan IP Indonesia," papar Doni.

Namun, kata dia, OTT yang bekerja sama dengan operator, yang memberikan layanan fungsi sama dan subsitutive dengan operator, harus diperlakukan layaknya penyelengara jasa. Artinya, ada kewajiban seperti pemain konten berbasis SMS yang diwajibkan membayar Biaya Hak Penggunaan Telekomunikasi (BHP Tel) dan Universal Service Obligation (USO).

Lebih lanjut, kata dia, harus diperjelas secara detil bentuk ganti rugi yang dimaksud dalam RPM. Mulai dari kompensasi berupa konten sejenis, free data akses, hingga nominal rupiah. Ini agar menjadi pegangan nantinya bagi konsumen ketika melakukan tuntutan.

"Yang terpenting, peran Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) yang sangat sentral dan harus mencapai hingga ke akar rumput secara maksimal. Juga penguatan panel sensor konten yang sudah eksis. Tak perlu lagi dibentuk Forum Layanan OTT karena itu akan tumpang tindih dengan panel sensor konten yang sudah dibentuk," papar Doni.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya