Ingat! Tak Beretika di Internet, Dampaknya Panjang

Survei Persaingan Pilpres di Socmed
Sumber :
  • VIVAnews/Ikhwan Yanuar
VIVAnews - Media sosial telah tumbuh menjadi salah satu saluran informasi pengguna internet. Malah pengguna sebagian internet di Indonesia kadang lebih lekat dengan media sosial dibandingkan media mainstrem seperti televisi, surat kabar maupun media online. 
Siswi SMA Negeri 2 Maumere Dilarang Ikut Ujian Gegara Nunggak Rp50 Ribu

Nilai potensi media sosial, sayangnya, belakangan makin disibukkan dengan perang panas internet, terutama pada masa kampanye Pilpres. 
Prediksi Piala Asia U-23: Yordania vs Timnas Indonesia

Bahkan perang konten di internet atau media sosial itu sampai melahirkan problem etik misalnya postingan saling menghujat dan menjatuhkan seseorang.
Inspirasi Membantu Sesama

Hal ini dinilai makin liar dan menurunkan kualitas kebebasan berekspresi di internet yang seyogyanya memberikan informasi yang kredibel bagi pengguna di internet lainnya. 

Anggora Dewan Pers, Nezar Patria, Rabu 20 Agustus 2014 menyoroti hal ini. Ia mengatakan pada media sosial memang tak ada kode etik maupun rezim etik (lembaga penilai etik) seperti pada media mainstream. 

"Di media sosial hanya mengandalkan komunitas saja. Misalnya adanya peraturan dalam sebuah forum komunitas tertentu. Bahwa kalau memuat konten tertentu maka bisa dilarang atau diblokir," jelas Nezar di Hotel Borobudur, Jakarta dalam diskusi Internet Governance Forum (IGF) dengan topik 'Kebebasan Berpendapat yang Beretika di Internet'. 

Mantan aktivis itu mengakui bila kekuatan etika tidak sekuat hukum. Sebab etika hanya berhubungan citra sebuah organisasi maupun pribadi. 

"Etika beda dengan hukum, ini tak punya kekuatan memaksa. Hukuman atas problem etik juga terkait dengan integritas atau kredibilitas," kata Nezar. 

Namun, tambahnya, meski tak memiliki kekuatan memaksa, justru hukuman atas problem etik ini memiliki dampak yang besar.

"Kalau kredibilitas sudah rusak, maka dampaknya panjang, hukumannya sosial," tuturnya. 

Terkait dengan perlu atau tidaknya etika di internet, setidaknya perlu melihat kebijakan diterapkan pemerintah Tiongkok, yang mampu mandiri dengan mengatur secara ketat internet di negara Tirai Bambu. 

"Saya mendukung self regulatory bukan state regulatory," kata dia.
Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya