Tak Ada Zat Radiaktif yang Aman

Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Chernobyl
Sumber :
  • foreignpolicy.com

VIVAnews - Pengelola pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) Fukushima Daiichi berjanji menyelesaikan krisis radiasi yang melanda dalam waktu enam hingga sembilan bulan ke depan.

Saat ini, ada dua tahap penanggulangan yang dilakukan, yakni dengan mengurangi jumlah radiasi yang menyebar dan mengendalikan pelepasan materi radioaktif. Kedua cara itu diungkapkan oleh Tokyo Electric Power Corporation (TEPCO), pengelola PLTN Fukushima.

Pemerintah Jepang pun tak kalah sibuk mengurusi masalah ini. Untuk meminimalisasi jumlah korban, pemerintah telah mengevakuasi puluhan ribu warga Fukushima. Mereka ditempatkan puluhan kilometer jauhnya dari lokasi PLTN yang mengalami kerusakan.

Yang jadi pertanyaan, apakah dengan kedua cara ini, permasalahan radiasi Fukushima bakal selesai?

Dr. Jeff Patterson, seorang ahli paparan radiasi, dalam diskusi yang digelar di National Press Club di Washington D.C, Amerika Serikat, menjelaskan secara gamblang mengenai bahaya radiasi.

Paparan Patterson diawali dengan pernyataan bahwa tak ada zat radioaktif yang benar-benar aman. Berapa pun kadarnya, zat radioaktif tetaplah berbahaya. “Tak ada level aman untuk zat radioaktif,” kata Patterson, seperti dikutip dari About, 13 Mei 2011.

“Berapa pun kadar zat radioaktif, ia tetap berpotensi memicu kanker dan berbagai efek lain seperti yang kita tahu selama ini,” ucap mantan presiden Physicians for Social Responsibility, lembaga swadaya masyarakat di Amerika Serikat yang melindungi masyarakat dari ancaman radiasi nuklir, pemanasan global, dan bahaya pencemaran lainnya.

Menurut Patterson, bahaya radiasi tak hanya muncul saat seseorang terkontaminasi zat radioaktif. “Yang tak kalah mengerikan adalah bahaya radiasi juga masih bisa tersimpan hingga ratusan tahun,” ucapnya.

Lebih parah lagi, Patterson mencatat, saat menjalani prosedur medis perisai tiroid dan celemek pelindung yang harus digunakan tidak bisa mencegah kontaminasi zat radioaktif terhadap tulang dan gigi saat pasien diberi X-ray.

"Ahli radiologi juga harus menambahkan kacamata khusus dan sarung tangan berlapis untuk melindungi mata mereka. Sebab, zat radioaktif bisa menimbulkan katarak bila terkena mata," beber Patterson.

Mengenai efek yang ditimbulkan oleh bencana radiasi seperti yang terjadi di Jepang baru-baru ini, Patterson menilai, pengendaliannya bakal sulit. Pasalnya, bencana radiasi menurutnya berbeda dengan bencana alam, seperti banjir, badai topan, maupun gempa bumi.

"Bencana alam seperti badai Katarina, memiliki bagian awal, tengah, dan akhir. Kita mengungsi, memperbaiki barang-barang, dan melanjutkan hidup. Namun bencana nuklir sangat berbeda,” ucap Patterson.

Bencana nuklir, sebut Patterson, punya awal, dan tahapan di tengah yang bisa berlangsung beberapa lama, namun tak pernah berakhir. “Bahayanya tetap menyebar selamanya, karena efek radiasi itu berlanjut terus-menerus,” ucapnya.

Patterson juga membantah anggapan bahwa bencana Chernobyl yang terjadi 25 tahun lalu sudah tidak membahayakan lagi bagi kesehatan orang-orang yang tinggal di sekitarnya. Menurutnya, data yang selama ini dirilis mengenai bencana Chernobyl tidak ilmiah.

Seperti diketahui, bencana Chernobyl adalah kecelakaan reaktor nuklir terburuk dalam sejarah manusia. Pada 26 April 1986 pukul 01:23 pagi, reaktor nomor empat di PLTN yang terletak di Uni Soviet tersebut meledak. Akibat kejadian tersebut, 5 juta orang yang tinggal di Belarusia, Ukraina, dan Rusia terkontaminasi zat radioaktif. 

Dokumen yang dirilis terkait bencana ini menyebutkan, ribuan korban meninggal akibat kanker tiroid. Penelitian menunjukkan spesies yang berada di sekitar Chernobyl mengalami cacat genetik, dan hewan yang berada ratusan kilometer dari sana tidak dapat dikonsumsi karena dagingnya tercemar zat radioaktif cesium. Bagi Patterson, data ini masih prematur dan tidak lengkap.

"Dua puluh lima tahun setelah bencana Chernobyl, orang-orang di Belarusia masih mengonsumsi radiasi cesium dari jamur dan benda-benda yang mereka dapatkan dari hutan. Kadar zat ini terus dan terus meningkat,” kata Patterseon.

Dari gambaran singkat yang terlihat memang tidak ada kerusakan, namun coba ikuti terus perkembangannya setelah 60-70 atau 100 tahun ke depan. “Tentu tak ada dari kita yang ingin menjadi bagian akhir dari eksperimen itu. Namun kita sedang menempatkan zat tersebut pada anak dan cucu kita," pungkas Patterson.

Vietnamese EV Taxi Service Push Sustainability Agenda with VinFast
Ilustrasi utang.

5 Negara yang Paling Jarang Utang di Dunia, Nomor 1 Tetangga Indonesia

Tidak semua negara di dunia ini mengandalkan utang dalam proses pembangunan dan pengelolaan pemerintahannya. Ada lima negara yang memiliki tingkat utang paling rendah.

img_title
VIVA.co.id
19 April 2024